Dialek : Pengertian, Jenis/Macam, Pembeda, Ragam, dan Asal –Usul serta Perkembangannya

 1. Pengertian Dialek

Dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif yang berada pada satu tempat, wilayah atau area tertentu.


Secara etimologis, istilah dialek berasal dari kata dialektos dalam bahasa Yunani. Padanannya dalam bahasa Indonesia adalah logat. Kata serapan logat pun bersumber dari bahasa Arab, yaitu lughah yang artinya denotasi bahasa.


Menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), istilah dialek berasal dari kata Yunani dialektos. Pada mulanya dipergunakan dalam hubungannya dengan keadaan bahasa.


Menurut Weijnen, dkk yang dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983) dialek adalah sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh satu masyarakat untuk membedakan dari masyarakat lain.


Menurut Claude Fauchet, dialek ialah mots de leur terroir yang berarti dialek adalah kata kata di atas tanahnya (Chaurand, 1972: 149), yang di dalam perkembangannya kemudian menunjuk kepada suatu bahasa daerah yang layak dipergunakan dalam karya sastra daerah yang bersangkutan.


Di Indonesia terdapat ratusan bahasa daerah dan ratusan dialek yang digunakan dalam masyarakat. Dalam penggunaan bahasa dan dialek, kita harus bisa menempatkan di mana kita sedang berada dan kepada siapa kita berkomunikasi, misalnya di kantor, dipasar atau di terminal.


Menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), ada 2(dua) ciri yang dimiliki dialek, yaitu:


a. Dialek ialah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda beda, yang memiliki ciri ciri umum dan masing masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama.


b. Dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa. (Meillet 1967: 69).


2. Jenis Jenis Dialek


Dialek atau ujaran yang diucapkan oleh orang orang dari pedalaman (rural speech) sebagai golongan bukan terpelajar. Dialek memiliki tipe arkais, sifat konservatif yang hampir tidak terdapat dalam bahasa baku.


Padahal bahasa standar yang dijadikan bahasa nasional sesungguhnya dari dialek yang didukung oleh faktor kesusastraan, ekonomi, dan politik. Pandangan ortodoks itu mulai pudar dan tidak lagi menjadi rujukan. Dialek dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut.


a. Dialek regional, yaitu dialek yang ciri cirinya dibatasi oleh tempat, misalnya dialek Melayu Menado dan Banyumas.


b. Dialek sosial, yaitu dialek yang dipakai oleh kelompok tertentu misalnya dialek yang digunakan oleh wanita Jepang.


c. Dialek temporal, yaitu dialek dari bahasa bahasa yang berbeda beda dari waktu ke waktu misalnya Melayu Kuno dan Melayu Klasik.


4. Dialek tinggi, yaitu variasi sosial atau regional struktur bahasa yang diterima sebagai standar bahasa itu dan dianggap lebih tinggi.


Dialek berpadu dengan bahasa dalam percakapan percakapan santai. Jenis dialek yang digunakan erat kaitannya dengan letak geografis daerah itu sendiri. Sebagai contoh, di Yogyakarta menggunakan bahasa Jawa dengan dialek Yogya.


Adapun penduduk di Jawa Barat, dalam percakapan percakapan santainya, mereka menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa Sunda dengan dialek Sunda Priangan atau Cianjuran.


Dengan demikian, dialek kedaerahan digunakan masyarakat dalam keseharian terutama dalam percakapan percakapan santai. Masyarakat yang sering menggunakan bahasa dan dialek daerah adalah kaum pedagang dan pembeli di pasar serta kalangan sekolah.


Berdasarkan uraian tersebut, Jakarta sebagai tempat pertemuan berbagai suku bangsa yang memiliki beragam kebudayaan serta bahasa dan dialek, telah memberi sentuhan dalam dialek Jakarta.


Perpaduan tersebut merupakan hal yang wajar karena umumnya, bahasa di Indonesia memiliki induk bahasa yang sama, yaitu Melayu. Namun, perpaduan ini juga memberi bentuk tersendiri dalam bahasa Melayu Jakarta.


Lenong Betawi menjadi salah satu sarana pewarisan dialek Jakarta.


Dialek : Pengertian, Jenis/Macam, Pembeda, Ragam, dan Asal –Usul serta Perkembangannya


3. Pembeda Dialek


Dialek bahasa Jawa Surakarta berbeda dengan Bahasa Jawa yang ada di Jawa Timur dan daerah Purwokerto, dan sebagainya. Menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), perbedaan dialek pada garis besarnya dapat dibagi menjadi lima macam yaitu :


a. Perbedaan onomasiologis


Menurut Guiraud (1970: 16), yang dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), perbedaan onomasiologis merujuk pada nama yang berbeda berdasarkan satu konsep, yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda.


Menghadiri kenduri misalnya, di beberapa daerah Bahasa Sunda tertentu biasanya disebut ondangan, kondangan atau kaondangan. Ini jelas disebabkan oleh adanya tanggapan atau tafsiran yang berbeda mengenai kehadiran di tempat kenduri itu.


Kondangan, ondangan dan kaondangan didasarkan kepada tanggapan bahwa kehadiran di situ karena diundang, sedangkan nyambungan didasarkan kepada tafsiran bahwa kehadiran di situ disebabkan oleh keinginan menyumbang barang sedikit kepada yang punya kenduri.


b. Perbedaan fonetik


Perbedaan ini berada di bidang fonologi. Biasanya si pemakai dialek atau bahasa yang bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan tersebut. Sebagai contoh dapat dikemukakan carema dengan cereme yaitu buah atau pohon cerme, gudang dengan kudang, jendela, gandela atau janela.


Mandadaki dengan manakaki (nama sejenis pardu). Dari contoh contoh itu tampak bahwa perbedaan fonetik itu dapat terjadi pada vokal maupun konsonan (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1983).


c. Perbedaan morfologis


Menurut Guiraud (1970), yang dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), perbedaan morfologis merujuk pada sistem tata bahasa yang bersangkutan. Hal tersebut disebabkan oleh frekuensi morfem morfem yang berbeda, oleh kegunaannya yang berkerabat, oleh wujud fonetisnya, oleh daya rasanya dan oleh sejumlah faktor lainnya lagi.


d. Perbedaan semasiologis


Menurut Guiraud (1970: 17-18), yang dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), perbedaan semasiologis merujuk kepada pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang berbeda.


Frase frase seperti rambutan Aceh, pencak cikalong dan orang yang berhaluan kiri, tidak jarang diucapkan hanya Aceh, cikalong dan kiri saja. Ucapan ini sudah dalam kaitan tertentu. Dengan demikian kata Aceh, misalnya, mengandung sedikitnya lima makna, yaitu:


1) Nama suku bangsa,

2) Nama daerah,

3) Nama kebudayaan,

4) Nama bahasa, dan

5) Nama sejenis rambutan.


e. Perbedaan semantic


Perbedaan semantik merujuk kepada terciptanya kata kata baru, berdasarkan perubahan fonologi dan geseran bentuk. Peristiwa tersebut biasanya terjadi geseran makna kata. Geseran tersebut bertalian dengan dua corak makna, yaitu:


1) Pemberian nama yang berbeda untuk lambang yang sama dibeberapa tempat yang berbeda, seperti turi dan turuy turi , balimbing dan calingcing buat belimbing. Pada bahasa Sunda, geseran corak ini pada umumnya dikenal dengan istilah sinonim, padan kata atau sama makna (Guiraud, 1970: 15, dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1983).


2) Pemberian nama sama untuk hal yang berbeda di beberapa tempat yang berbeda. Misalnya calingcing untuk calincing dan belimbing, meriuntuk itik dan anak itik. Pada Bahasa Sunda, geseran ini dikenal dengan nama homonimi (Guiraud, 1970: 8, dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1983).


4. Ragam Dialek


Menurut Kridalaksana (1970), ragam dialek atau bahasa ditentukan oleh faktor waktu, tempat, social budaya, situasi, dan sarana pengungkapan. Pada kenyataannya, faktor faktor tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi seringkali saling melengkapi.


Faktor waktu misalnya, mengakibatkan bahasa yang sama, pada masa lampau dan sekarang berlainan, sedangkan bersama sama dengan faktor tempat, kelainan itu berkembang sampai saat sekarang. Artinya, apa yang umumnya disebut dialek regional sebenarnya dihasilkan baik oleh faktor waktu maupun faktor tempat. Berdasarkan hal tersebut, pada umumnya dialek dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu dialek 1, dialek 2 dan dialeksosial.


a. Dialek 1


Dialek 1 yaitu dialek yang berbeda beda karena keadaan alam sekitar tempat dialek tersebut dipergunakan sepanjang perkembangannya (Warnant, 1973, dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa1983). Dialek itu dihasilkan karena adanya dua faktor yang saling melengkapi, yaitu faktor waktu dan tempat.


Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa bahasa Melayu yang dipergunakan di daerah Manado ialah bahasa Melayu yang menurut sejarahnya dipergunakan didaerah Manado, dan berdasarkan tempatnya hanya dipergunakan didaerah itu saja.


b. Dialek 2


Menurut Warnant, (1973), dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983). Dialek 2 yaitu bahasa yang dipergunakan di luar daerah pakainya. Hubungannya dengan Bahasa Indonesia adalah misalnya dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia yang dipergunakan di daerah Bali, Batak, Bugis dan Sunda atau yang diucapkan oleh orang orang yang berasal dari suku tersebut merupakan dialek 2.


Bahasa Indonesia yang dipergunakan di daerah Ambon, Manado dan Jakarta, bukan dialek 2 karena ketiga daerah tersebut dianggap sebagai daerah pakai Bahasa Indonesia. Demikian juga halnya dengan Bahasa Sunda. Bahasa Sunda yang dipergunakan di daerah Cirebon  Sunda misalnya, merupakan dialek regional 1, tetapi yang dipergunakan di daerah Cirebon Jawa termasuk dialek 2.


c. Dialek social


Menurut Kridalaksana (1970), dialek sosial atau sosiolecte ialah ragam bahasa yang dipergunakan oleh kelompok tertentu. Dengan demikian, mudah membedakannya dari kelompok masyarakat lainnya. Kelompok itu dapat terdiri atas kelompok pekerjaan, usia, kegiatan, kelamin, pendidikan, dan sebagainya.


Ragam dialek sosial yang memperlihatkan ciri ciri yang sangat khusus dikenal dengan nama argot atau slang. Sampai pada akhir abad ke19, argot masih diartikan sebagai bahasa khusus kaum petualang, pencuri, dan pengemis. Bahasa tersebut hanya dipergunakan untuk dan oleh mereka saja.


Seiring dengan meluasnya pameo pameo khusus, argot menjadi lebih atau kurang teknis, lebih atau kurang kaya, lebih atau kurang indah, dan dipergunakan oleh mereka yang berasal dari kelompok profesi yang sama (Guiraud, 1973, dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1983).


5. Asal usul dan Perkembangan Dialek


Menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), pertumbuhan dan perkembangan dialek sangat ditentukan oleh faktor kebahasaan dan faktor luar bahasa. Keadaan alam, misalnya mempengaruhi ruang gerak penduduk setempat, baik dalam mempermudah penduduk berkomunikasi dengan dunia luar maupun mengurangi adanya kemungkinan itu (Guiraud, 1970).


Demikian pula halnya dengan ekonomi, cara hidup dan sebagainya. Tercermin pula di dalam dialek yang bersangkutan (Guiraud, 1970). Menurut Guiraud (1970: 26) yang dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983) terjadinya ragam dialek itu disebabkan oleh adanya hubungan dan keunggulan bahasa yang terbawa ketika terjadi perpindahan penduduk, penyerbuan atau penjajahan.


Hal yang tidak boleh dilupakan ialah peranan dialek atau bahasa yang bertetangga di dalam proses terjadinya suatu dialek itu. Dari dialek dan bahasa yang bertetangga itu, masuklah anasir kosakata, struktur, dan cara pengucapan atau lafal.


Setelah itu kemudian ada di antara dialek tersebut yang diangkat menjadi bahasa baku, maka peranan bahasa baku itu pun tidak boleh dilupakan. Sementara pada gilirannya, bahasa baku tetap terkena pengaruhnya baik dari dialeknya maupun dari bahasa tetangganya.


Selanjutnya, dialek berkembang menuju dua arah, yaitu perkembangan membaik dan perkembangan memburuk. Menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), Bahasa Sunda di kotaBandung dijadikan dasar bahasa sekolah yang kemudian dianggap sebagai bahasa Sunda baku.


Secara obyektif memang harus diakui bahwa Bahasa Sunda kota Bandung memberikan kemungkinan lebih besar untuk dijadikan bahasa sekolah dan kemudian sebagai bahasa Sunda Baku. Hal ini dialek bahasa Sunda mengalami perkembangan membaik. Pusat Pembinaan dan Perkembangan Bahasa (1983), memberi contoh perkembangan dialek yang memburuk sebagai berikut.


Pada lima tahun yang lalu, penduduk kampung Legok (Indramayu) masih berbicara Bahasa Sunda. Sekarang penduduk kampung itu hanya dapat mempergunakan Bahasa Jawa  Cirebon. Dengan kata lain, bahasa Sunda di kampung itu sekarang telah lenyap, dan kelenyapan itu merupakan keadaan yang paling buruk dari perkembangan memburuk suatu bahasa atau dialek.

Comments

Popular posts from this blog

4 Fase Perkembangan Ilmu Antropologi Serta Contohnya

15 Pengertian Kebudayaan Secara Umum, Etimologi dan Menurut Para Ahli

6 Ciri Budaya Lokal di Indonesia Dan Contohnya